Televisi digital atau DTV adalah jenis televisi yang menggunakan modulasi digital dan sistem kompresi untuk menyiarkan
sinyal gambar, suara,
dan data ke pesawat televisi. Televisi digital
merupakan alat yang digunakan untuk menangkap siaran TV digital, perkembangan
dari sistem siaran
analog ke digital yang mengubah informasi menjadi sinyal digital
berbentuk bit data seperti komputer.
Pendorong pengembangan televisi
digital antara lain:
- Perubahan lingkungan eksternal
- Perkembangan teknologi
- Teknologi pemrosesan sinyal digital
- Teknologi transmisi digital
- Teknologi semikonduktor
- Teknologi peralatan yang beresolusi tinggi
Frekuensi TV digital
Secara teknis, pita spektrum frekuensi radio
yang digunakan untuk televisi analog dapat digunakan untuk penyiaran televisi
digital. Perbandingan lebar pita frekuensi
yang digunakan teknologi analog dengan teknologi digital adalah 1 : 6.
Jadi, bila teknologi analog memerlukan lebar pita 8 MHz untuk satu kanal
transmisi, teknologi digital dengan lebar pita yang sama (menggunakan teknik
multipleks) dapat memancarkan sebanyak 6 hingga 8 kanal transmisi sekaligus
untuk program yang berbeda.
TV digital ditunjang oleh teknologi penerima yang mampu beradaptasi sesuai dengan lingkungannya. Sinyal digital dapat ditangkap dari sejumlah pemancar yang membentuk jaringan berfrekuensi sama sehingga daerah cakupan TV digital dapat diperluas. TV digital memiliki peralatan suara dan gambar berformat digital seperti yang digunakan kamera video.
TV digital ditunjang oleh teknologi penerima yang mampu beradaptasi sesuai dengan lingkungannya. Sinyal digital dapat ditangkap dari sejumlah pemancar yang membentuk jaringan berfrekuensi sama sehingga daerah cakupan TV digital dapat diperluas. TV digital memiliki peralatan suara dan gambar berformat digital seperti yang digunakan kamera video.
Sistem pemancar TV digital
Terdapat tiga standar sistem
pemancar televisi digital di dunia, yaitu televisi digital (DTV) di Amerika, penyiaran video digital terestrial
(DVB-T) di Eropa, dan layanan penyiaran digital terestrial
terintegrasi (ISDB-T) di Jepang. Semua standar sistem
pemancar sistem digital berbasiskan sistem pengkodean OFDM
dengan kode suara MPEG-2 untuk ISDB-T dan DTV serta MPEG-1
untuk DVB-T.
Dibandingkan dengan DTV dan DVB-T,
ISDB-T sangat fleksibel dan memiliki kelebihan terutama pada penerima dengan
sistem seluler. ISDB-T terdiri dari ISDB-S untuk transmisi melalui kabel dan
ISDB-S untuk tranmisi melalui satelit. ISDB-T dapat diaplikasikan pada sistem
dengan lebar pita 6,7MHz dan 8MHz. Fleksibilitas ISDB-T bisa dilihat dari mode
yang dipakainya, dimana mode pertama digunakan untuk aplikasi seluler televisi
berdefinisi standar (SDTV), mode kedua sebagai aplikasi penerima
seluler dan SDTV atau televisi berdefinisi tinggi (HDTV)
beraplikasi tetap, serta mode ketiga yang khusus untuk HDTV atau SDTV bersistem
penerima tetap. Semua data modulasi sistem pemancar
ISDB-T dapat diatur untuk QPSK dan 16QAM atau 64QAM. Perubahan mode ini bisa
diatur melalui apa yang disebut kontrol konfigurasi transmisi dan multipleks
(TMCC).
Frekuensi sistem penyiaran televisi
digital dapat diterima menggunakan antena yang disebut televisi terestrial
digital (DTT), kabel (TV kabel
digital), dan piringan satelit. Alat serupa telepon seluler digunakan terutama untuk
menerima frekuensi televisi digital berformat DMB dan DVB-H. Siaran televisi
digital juga dapat diterima menggunakan internet berkecepatan tinggi yang dikenal
sebagai televisi protokol internet (IPTV).
Transisi TV analog ke TV digital
Transisi dari pesawat televisi analog menjadi
pesawat televisi digital membutuhkan penggantian perangkat pemancar televisi
dan penerima siaran televisi. Agar dapat menerima penyiaran digital, diperlukan
pesawat TV digital.
Namun, jika ingin tetap menggunakan pesawat penerima televisi analog, penyiaran digital dapat ditangkap dengan alat tambahan yang disebut rangkaian konverter (Set Top Box). Sinyal siaran digital diubah oleh rangkaian konverter menjadi sinyal analog, dengan demikian pengguna pesawat penerima televisi analog tetap bisa menikmati siaran televisi digital. Dengan cara ini secara perlahan-lahan akan beralih ke teknologi siaran TV digital tanpa terputus layanan siaran yang digunakan selama ini.
Proses transisi yang berjalan secara perlahan dapat meminimalkan risiko kerugian terutama yang dihadapi oleh operator televisi dan masyarakat. Resiko tersebut antara lain berupa informasi mengenai program siaran dan perangkat tambahan yang harus dipasang tersebut. Sebelum masyarakat mampu mengganti televisi analognya menjadi televisi digital, masyarakat menerima siaran analog dari pemancar televisi yang menyiarkan siaran televisi digital.
Bagi operator televisi, risiko kerugian berasal dari biaya membangun infrastruktur televisi digital terestrial yang relatif jauh lebih mahal dibandingkan dengan membangun infrastruktur televisi analog. Operator televisi dapat memanfaatkan infrastruktur penyiaran yang telah dibangunnya selama ini seperti studio, bangunan, sumber daya manusia dan lain sebagainya.
Apabila operator televisi dapat menerapkan pola kerja dengan calon penyelenggara TV digital. Penerapan pola kerja dengan calon penyelenggara digital pada akhirnya menyebabkan operator televisi tidak dihadapkan pada risiko yang berlebihan. Di kemudian hari, penyelenggara penyiaran televisi digital dapat dibedakan ke dalam dua posisi yaitu menjadi penyedia jaringan, serta penyedia isi.
Perpindahan dari sinyal analog ke sinyal digital sudah dilakukan di sejumlah negara maju beberapa tahun yang lalu. Di Jerman, proyek penggunaan sinyal digital dimulai sejak tahun 2003 di Berlin dan tahun 2005 di Muenchen. Sementara Perancis dan Inggris telah menghentikan secara total siaran televisi analog mereka.
Di Amerika Serikat, melalui Undang-Undang Pengurangan Defisit tahun 2005 yang telah disetujui oleh Kongres, setiap stasiun televisi lokal yang berdaya penuh diminta untuk mematikan saluran analog mereka pada tanggal 17 Februari 2009 dan meneruskan siaran dalam bentuk digital secara eksklusif. Sementara Jepang akan memulai siaran televisi digital secara massal pada tahun 2011.
Namun, jika ingin tetap menggunakan pesawat penerima televisi analog, penyiaran digital dapat ditangkap dengan alat tambahan yang disebut rangkaian konverter (Set Top Box). Sinyal siaran digital diubah oleh rangkaian konverter menjadi sinyal analog, dengan demikian pengguna pesawat penerima televisi analog tetap bisa menikmati siaran televisi digital. Dengan cara ini secara perlahan-lahan akan beralih ke teknologi siaran TV digital tanpa terputus layanan siaran yang digunakan selama ini.
Proses transisi yang berjalan secara perlahan dapat meminimalkan risiko kerugian terutama yang dihadapi oleh operator televisi dan masyarakat. Resiko tersebut antara lain berupa informasi mengenai program siaran dan perangkat tambahan yang harus dipasang tersebut. Sebelum masyarakat mampu mengganti televisi analognya menjadi televisi digital, masyarakat menerima siaran analog dari pemancar televisi yang menyiarkan siaran televisi digital.
Bagi operator televisi, risiko kerugian berasal dari biaya membangun infrastruktur televisi digital terestrial yang relatif jauh lebih mahal dibandingkan dengan membangun infrastruktur televisi analog. Operator televisi dapat memanfaatkan infrastruktur penyiaran yang telah dibangunnya selama ini seperti studio, bangunan, sumber daya manusia dan lain sebagainya.
Apabila operator televisi dapat menerapkan pola kerja dengan calon penyelenggara TV digital. Penerapan pola kerja dengan calon penyelenggara digital pada akhirnya menyebabkan operator televisi tidak dihadapkan pada risiko yang berlebihan. Di kemudian hari, penyelenggara penyiaran televisi digital dapat dibedakan ke dalam dua posisi yaitu menjadi penyedia jaringan, serta penyedia isi.
Perpindahan dari sinyal analog ke sinyal digital sudah dilakukan di sejumlah negara maju beberapa tahun yang lalu. Di Jerman, proyek penggunaan sinyal digital dimulai sejak tahun 2003 di Berlin dan tahun 2005 di Muenchen. Sementara Perancis dan Inggris telah menghentikan secara total siaran televisi analog mereka.
Di Amerika Serikat, melalui Undang-Undang Pengurangan Defisit tahun 2005 yang telah disetujui oleh Kongres, setiap stasiun televisi lokal yang berdaya penuh diminta untuk mematikan saluran analog mereka pada tanggal 17 Februari 2009 dan meneruskan siaran dalam bentuk digital secara eksklusif. Sementara Jepang akan memulai siaran televisi digital secara massal pada tahun 2011.
ALGORITMA CODING SINYAL AUDIO UNTUK
TELEVISI DIGITAL BERBASIS MODEL SINUSOIDAAbstrak :
Saat ini teknologi televisi telah
sampai pada penggunaan sistem digital. Meskipun demikian, sistem televisi di
Indonesia masih didominasi oleh sistem analog yang relatif kurang fleksibel
untuk dikembangkan dan diintegrasikan ke dalam sistem komunikasi digital. Oleh
karena itu perlu dilakukan langkah-langkah untuk membangun sistem penyiaran
secara digital untuk mengganti sistem penyiaran analog yang ada sekarang. Di
sisi lain diperlukan standarisasi perangkat dan sistem siaran digital untuk
proteksi dalam negeri. Untuk itu diperlukan perangkat sistem pemancar dan
penerima siaran televisi digital yang dapat diproduksi oleh industri dalam
negeri dan berfitur spesifik Indonesia. Informasi yang dikirimkan dan diterima pada
sistem siaran televisi adalah gambar bergerak dan sinyal audio. Informasi
kualitas sinyal audio dengan kualitas yang baik akan sangat membantu para
pemirsa televisi untuk dapat menangkap informasi secara jelas dan benar. Di
sisi lain kapasitas kanal transmisi yang tersedia semakin terbatas, seiring
pertumbuhan permintaan kanal komunikasi yang sangat pesat. Kapasitas kanal
komunikasi yang terbatas mendorong untuk terus melakukan efisiensi di semua
bagian pada sistem komunikasi. Pada perkembangannya, telah dilakukan upaya
pengkodean sinyal audio agar diperoleh laju yang lebih rendah untuk menghemat
penggunaan kanal transmisi. Sinyal audio telah diolah sedemikian rupa sehingga
dapat menghilangkan unsur redundant dan diperoleh informasi yang cukup ringkas
untuk ditransmisikan. Penelitian yang akan dilakukan bertujuan untuk
mengkodekan sinyal audio pada laju yang rendah agar dapat diperoleh penghematan
dalam penggunaan kanal komunikasi untuk penyiaran televisi. Penelitian yang
akan dilakukan adalah merancang metode pengkodean sinyal audio pada laju rendah
beserta dengan pendekode yang sesuai. Perancangan didasarkan pada hipotesa
bahwa sinyal audio dapat dikodekan pada laju rendah dan dapat dikembalikan
menjadi seperti sinyal asal dengan kualitas yang baik. Pengkode sinyal audio
yang diusulkan, terdiri atas detektor eksistensi sinyal, pendeteksi lebar
pitch, penghitung amplituda rata-rata pitch, pemisah voiced- unvoiced,
pemilihan sinyal selebar satu periode pitch dan pengkodean tiap parameter.
Sinyal selebar satu periode pitch dikodekan dengan menggunakan model sinusoida.
Dekoder terdiri atas detektor parameter, pembentuk unvoiced depan dan belakang,
dan pembentuk satu sinyal periode pitch.. Selanjutnya setelah bentuk sinyal
periode pitch didapatkan, dilakukan proses pembangkitan sinyal bergetar.
Perancangan pengkode dan pendekode sinyal audio pada laju rendah dilaksanakan
dengan menggunakan perangkat lunak C++. Perangkat keras yang dipergunakan untuk
simulasi adalah mikropon, digital signal processor dan komputer dengan
sound-card untuk pengambilan sinyal audio. Hasil-hasil perekaman dan pemrosesan
sinyal diperdengarkan dengan bantuan loud speaker. Hasil penelitian akan dapat
memberikan kontribusi dalam bidang penyiaran secara digital, utamanya dalam
pengembangan metode untuk memperkecil ukuran data sinyal audio. Penghematan
dapat diperoleh dengan pengiriman sinyal audio pada laju yang rendah Kata kunci
: audio, coding, kompresi, sinusoida, televisi
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Televisi_digital
http://id.wikipedia.org/wiki/Televisi_digital
http://www.omrc-drn.or.id/kegiatan-riset.html?rid=18112&cid1=&cid=
Tidak ada komentar:
Posting Komentar